Wawancara
Home > Berita > AUDISI UMUM > [Audisi Umum 2016] Christian Hadinata, Peletak Pondasi Ganda Putra Indonesia
10 April 2016
[Audisi Umum 2016] Christian Hadinata, Peletak Pondasi Ganda Putra Indonesia
 
 

PB Djarum menggelar Audisi Umum 2016 berlangsung di 9 kota yang bertujuan mencari pemain-pemain berbakat untuk diberikan Beasiswa Bulutangkis. Para legenda bulutangkis yang dipimpin Christian Hadinata terjun langsung menjadi tim pencari bakat. Khusus Christian, keikutsertaan sebagai ketua tim pencari bakat merupakan wujud dedikasinya tanpa henti bagi bulutangkis Indonesia.

Christian merupakan legenda hidup bulutangkis Indonesia. Sebagai pemain ia telah menorehkan banyak gelar juara. Demikian pula setelah menjadi pelatih, ia mengantarkan anak didiknya ke puncak prestasi tertinggi.

Christian lahir di kota Purwokerto tanggal 11 Desember 1949, anak bungsu dari pasangan Timotius Hadinata dan Aer Nio. Seperti kebanyakan anak laki-laki, ia senang berolahraga terutama berawal dari permainan sepak bola. Perkembangannya di sekolah, ia bermain cabang olah raga lainnnya seperti Bola Volley, Basket, Bulutangkis dan tentunya sepak bola. Dari level SD sampai SMA, ia kerap mewakili sekolah di ajang Pekan Olahraga Pelajar untuk cabang-cabang olahraga tersebut.

Ketika menginjak bangku SMP, Christian menyimak berita-berita di surat kabar, mengenai keberhasilan pendahulunya seperti Ferry Sonnevile, Tan Joe Hok, Li Po Djian, Eddy Yusuf, Tan King Gwan, dalam merebut Piala Thomas. Tan Joe Hoek juga merupakan putra pertama Indonesia yang menjadi juara All England.  Ia mulai berpikir, ternyata bulutangkis adalah olahraga dimana Indonesia bisa bersaing dengan orang luar negeri. Mulainya timbul niatnya untuk menjadi seorang pemain bulutangkis.

Ia berlatih bersama komunitas bulutangkis yang terdiri dari teman-teman sekolah atau beda sekolah tetapi senang bulutangkis. Bagi Christian, bulutangkis merupakan cabang yang mahal karena harus menyediakan raket, kock, sepatu, pergantian senar putus, dll. Ia hampir meninggalkan bulutangkis karena ketidakmampuannya membeli semua perlengkapan itu. Beruntung, ia diajak teman yang lebih mampu, bernama Wie Wie Kian. Sang sahabat inilah yang mengajaknya bermain, meminjamkan raket dan membeli kock.

“ Kalau gak diajak sama sahabat saya itu maka saya gak main. Saya main pun tanpa alas kaki karena tidak punya uang untuk membeli sepatu,” ungkap Christian.

Dari pertandingan antar sekolah, ia sering mendapat hadiah seperti raket, kaos dan sepatu. Itulah menjadi modal baginya untuk bisa terus bermain. Selepas SMA, ia berpikir untuk berganti profesi. Ia mendaftar kuliah di Universitas Jendral Sudirman Purwokerto dan diterima di jurusan ekonomi.

Saat tinggal tunggu masa orientasi mahasiswa, ada jeda waktu 2 minggu. Ia lalu berlibur ke rumah kakak tertuanya di kota Bandung terlebih dahulu.

“Garis tangan pun menentukan lain. Saya  gak boleh pulang sama kakak dan diarah terus bermain bulutangkis di kota Bandung,” kenang Christian.

Sang kakak mengantar Christian ke rumah teman kakaknya yang merupakan dekan di STO (Sekolah Tinggi Olah raga) di Bandung. Tujuannya adalah agar Christian diterima belajar bulutangkis. Keesokan harinya, Christian diminta menjalani tes di GOR Saparua oleh seorang dosen bulutangkis bernama Sukartono. Ia pun akhirnya diterima kuliah di STO di pagi harinya, sedangkan sore hari, ia berlatih di klub Blue White atau sekarang dikenal dengan klub Mutiara Bandung.

Christian diarahkan bermain ganda. Berpasangan dengan Atik Jauhari, ia berhasil menjadi Juara Nasional tahun 1971 di Yogyakarta. Kemudian ia ditunjuk mewakili provinsi Jabar dalam Seleksi Nasional. Ia dan Atik berhasil menjadi juara Seleknas dan berhak masuk ke Pelatnas.

Arah nasib berubah lagi. Ia yang sudah kompak dengan Atik, harus berpisah. Atik mengalami luka dibagian mata akibat terkena smash saat latihan. Atik dirawat di Rumah Sakit dalam kurun waktu yang cukup lama. Lalu Atik mengundurkan diri dari Pelatnas. Pelatih mereka saat itu, Stenley Goh memasangkan Christian dengan Ade Chandra.

Pasangan Christian/Ade terpilih menjadi anggota tim Indonesia di kejuaraan Beregu Asia 1971, bersama pemain tunggal Rudy Hartono dan Muljadi. Regu Indonesia pun keluar sebagai juara.

Tahun 1972 Christian/Ade mengikuti seleksi ke turnamen All England dan berhasil lolos.  Mereka pertama kali ikut langsung juara. Christian/Ade mencatat sejarah sebagai pasangan ganda putra Indonesia pertama yang menjadi juara All England.

“Kami Satu-satunya ganda putra Indonesia dan dipandang sebelah mata karena bulutangkis Indonesia hanya terkenal tunggal putranya saja. Tetapi kami mampu membuktikan diri sebagai juara,” ujar Christian.

Bukan itu saja, meskipun pemain ganda, ia kerap berlatih permainan tunggal untuk melatih fisik dan cover lapangan. Karena itulah ia didaftarkan juga di nomor tunggal putra All England tahun 1973 dan berhasil masuk babak final. Namun ia kalah dari rekannya Rudy Hartono. Sedang di nomor ganda, ia dan Ade berhasil mempertahankan gelar juara, setelah mengalahkan yuniornya Tjun Tjun/Johan Wahyudi.

All England 1974, Christian/Ade menargetkan hattrick atau tiga kali juara dalam tiga tahun berturut-turut. Malang tak dapat ditolak, rencana menjadi berantakan. Ade mengalami kecelakaan tabrakan motor dan menderita cedera bagian tangan. Ade tidak bisa berangkat ke kota London. Christian lalu mengajak pemain tunggal  Lie Sumirat sebagai pasangan, namun kalah dibabak final dari TjunTjun/Johan.

Berbagai prestasi dicetak Christian Hadinata baik di sektor ganda putra maupun ganda campuran. Diantaranya medali emas ganda campuran Asian Games 1974 bersama Regina Masli, medali emas ganda putra Asian Games 1978 bersama Ade dan Juara ganda campuran All England tahun 1979 berduet dengan Imelda Wiguna.

Kejuaraan Dunia 1980 di Jakarta menyimpan kisah tersendiri bagi Christian. Ia disiapkan bermain ganda putra dan ganda campuran sekaligus. Namun sepekan menjelang kejuaraan, istrinya yang sedang hamil 9 bulan, jatuh terpeleset. Ia sangat khawatir keselamatan istri dan anak pertamanya. Istrinya yang hamil tua dengan kaki di gips harus berjalan dengan bantuan tongkat. Padahal, ia tinggal di lantai atas Asrama Senayan. Untuk naik tangga keatas, harus berjalan mundur, sedangkan untuk turun minta bantuan atlet putri diantaranya Maria Fransiska untuk memapah. Karena tidak fokus, Christian menghadap ketum PBSI Sudirman untuk mundur dari Kejuaraan Dunia. Tetapi diminta tetap ikut, dan istrinya disediakan mobil dan supir yang berjaga didepan asrama. Bersyukur kelahiran anaknya terjadi dua hari setelah selesai pertandingan.

“Saya main gak mikir, saya hanya memikirkan istri tetapi malah gak menjadikan beban apa-apa. Hasilnya malah dapat 2 gelar juara dunia,” kenang Christian.

Christian juga dikenal sebagai pemain yang bisa dipasangkan dengan siapa saja. Dengan Ade Chandra telah menghasilkan banyak gelar juara. Lalu dengan Lius Pongoh menjadi juara Japan Open 1981, dua medali emas Asian Games 1982 bersama Icuk Sugiarto dan Ivana Lie, Malaysia Open 1983 berduet dengan Bobby Ertanto, Indonesia Open 1984 dengan Hadi Bowo dan masih banyak lagi.

“Bermain dengan banyak pasangan, teorinya sederhana. Partner dengan siapapun, saya mengalah. Sebelum main, tanya dulu, ingin main seperti apa, sekalipun pasangan dengan yunior. Contoh dengan dua karakter sangat berbeda antara Icuk dan King. Dengan Icuk main bertahan sampai lawan kehabisan nafas, jadi pola mainnya kiri-kanan. Dengan King maunya menyerang, harus memakai pola depan-belakang, saya mengatur bola agar King dapat melontarkan smashnya yang terkenal,” ujar Christian.

Tahun 1988, Christian menjalani pertandingan internasional terakhirnya di US Open. Ia juara ganda putra bersama Lius Pongoh dan ganda campuran dengan Ivana Lie. Setelah itu, ia mundur dari Pelatnas dan kembali ke klub PB Djarum tempatnya bernaung sejak tahun 1980. Di klub asal Kudus ini, Christian menjadi pelatih dan membentuk pusat pelatihan baru khusus ganda di Jakarta.

Tahun 1990, Christian dipanggil ke Pelatnas oleh Kabinpres PBSI saat itu, MF. Siregar. Ia diminta membantu persiapan tim Indonesia menuju Olimpiade Barcelona tahun 1992. Ia berhasil mengantarkan Eddy Hartono/Gunawan meraih medali perak, kemudian disusul medali emas empat tahun kemudian lewat Ricky Subagja/Rexy Mainaky.

Ia juga mengenang keberhasilan anak didik-nya mencetak all Indonesian semifinal di Japan Open 1996. Empat pasangan anak didiknya bermain bersamaan di empat lapangan saat babak perempat final. Christian sempat bingung untuk mendampingi pasangan yang mana, yang akhirnya ia mendampingi Tony Gunawan/Rudy Wijaya yang merupakan pasangan paling yunior. Keempat pasangan yang terdiri dari  Bambang Suprianto/Gunawan, Ricky Subagja/Rexy Mainaky, Antonius/Denny Kantono dan Tony/Rudy, semuanya menang dan maju ke semifinal turnamen yang disebut sebagai All England-nya Asia tersebut.

Salah satu kenangan yang tak terlupakan sebagai pelatih ketika mengantarkan Indonesia meraih Piala Thomas 1998 di Hong Kong. Saat itu terjadi kerusuhan di tanah air, yang sangat menganggu konsentrasi para pemain. Namun diluar dugaan banyak pihak, tim Indonesia tetap tampil perkasa.

Sumbangsih Christian baik sebagai pemain maupun pelatih merupakan peletak pondasi  kekuatan ganda putra Indonesia. Sampai kini, ganda putra bersama ganda campuran merupakan sektor yang menjadi andalan utama bulutangkis Indonesia. (Hendri.K)